Happiness


Definisi bahagia buat setiap orang pasti berbeda-beda. Kalo menurut gue, bahagia adalah ketika gue punya kebebasan untuk memilih sesuatu yang gue inginkan, ketika gue bisa mendahulukan perasaan gue dibandingkan orang lain, dan ketika gue bisa menjadi diri sendiri. Buat lebih jelasnya, gue bakal membedah satu persatu bahagia versi gue.

1) Bahagia ketika gue punya kebebasan untuk memilih sesuatu yang gue inginkan

Semakin dewasa, gue semakin dituntut buat memutuskan sendiri pilihan-pilihan yang datang ke hidup gue. Keputusan yang nantinya jadi cerita perjalanan hidup gue. Hal itu juga yang menyadarkan gue kalo ternyata gue orangnya plin-plan. Sikap ke-plin-plan-an itu baru gue sadari setelah kehilangan beberapa pilihan. Gue masih belum bisa memutuskan sesuatu secara cepat tanpa memikirkan pilihan lainnya di kemudian hari. Kerap kali, gue malah terlarut sama pemikiran "coba gue nggak milih ini..." yang justru mengarah kepada penyesalan.

2) Bahagia ketika gue bisa mendahulukan perasaan diri sendiri dibandingkan orang lain

Manusia sejatinya adalah makhluk sosial. Manusia nggak mungkin bisa hidup tanpa bersosialisasi. Setelah hidup dengan kondisi pandemi selama dua tahun, gue mulai mempertimbangkan makna makhluk sosial itu. Gue emang butuh orang lain, tapi ada beberapa kondisi yang sebenarnya gue butuhkan adalah eksistensi diri gue sendiri. Kondisi di mana gue bisa menghargai kehadiran perasaan sendiri dibandingkan orang lain. Contohnya waktu gue selesai bersosialisasi lewat Zoom Meeting. 

Gue baru paham kalo bersosialisasi ternyata menguras energi sehingga gue butuh break untuk sekadar mengisi ulang energi gue. Bisa lewat nonton film sendiri, jogging sendiri, atau sesimple tiduran sendiri di kasur sambil scrolling Instagram. Mungkin kalo nggak ada pandemi, gue nggak pernah ngerti soal pentingnya memahami emosional diri sendiri, healing (nggak mesti di curug), atau sosialisasi yang ternyata menguras energi. Itu semua masih gue pelajari sampai sekarang.

3) Bahagia ketika gue bisa menjadi diri sendiri

Media sosial. Media sosial kerap kali membentuk standar tidak baku tentang perilaku, tampilan, dan pemikiran seseorang. Di Instagram, orang gampang menjustifikasi orang lain cuma lewat tampilannya. Di Twitter, orang lebih gampang menolak perbedaan pemikiran mengenai suatu hal. Karena kedua hal di atas, gue sebagai anak baru gede yang nggak mau ngerasain dirujak netizen seantero media sosial, gue jadi ciut buat menunjukkan "jalan" gue sendiri dan malah berujung membiarkan kemana diri gue akan kebawa arus. Gue juga masih perlu belajar di sini. Belajar untuk melantangkan suara sendiri, menulis cerita sendiri, dan menjadi diri sendiri.

Itu adalah tiga bahagia versi gue *sejauh ini. Kalo menurut kalian, apa bahagia versi kalian? Anyway, thank you buat yang udah mampir!

Posting Komentar

0 Komentar